GARDUOTO – Perkumpulan Industri Kecil-Menengah Komponen Otomotif (PIKKO) Indonesia meminta Kementerian Perindustrian (Kemenperin) melibatkan 122 perusahaan kecil anggotanya dalam peta jalan mobil listrik.
Hal ini terungkap dalam Focus Group Discussion ‘Senjakala Industri Komponen Otomotif dalam Menghadapi Era Mobil Listrik di Indonesia’ di The Hook, Jakarta, Rabu (18/7).
Kepastian tersebut dibutuhkan ditengah merebaknya bahwa program mobil listrik akan mematikan industri pendukung otomotif nasional.
Ketua Dewan Pengawas Perkumpulan Industri Kecil-Menengah Komponen Otomotif (PIKKO) Indonesia, Wan Fauzi mengatakan, selama ini anggota PIKKO memasok sekitar 30 persen kebutuhan komponen Agen Pemegang Merek (APM).
Sementara 70 persen lainnya sudah dipasok dari vendor-vendor yang selama ini memiliki kontrak dengan APM.
“UKM seperti kami ini hanya memasok 30 persen dari kebutuhan industri otomotif nasional. Kami harapannya ingin menjadi pemasok Tier 1 dari APM tersebut,” kata Wan Fauzi
Kepastian kontrak pasok tersebut menurutnya akan menjamin investasi yang dikeluarkan anggota PIKKO untuk mesin produksi komponen baru.
“Kami kan hanya membuat komponen yang dipesan oleh APM. Karena mobil listrik ini berbeda kebutuhan komponennya dengan mobil konvensional. Tadinya butuh komponen untuk dudukan mesin, lalu diganti untuk dudukan baterai,” jelasnya.
Butuh Insentif
Sampai saat ini Wan Fauzi mengaku PIKKO belum diundang oleh Kemenperin untuk membahas masalah tersebut. Selain itu, APM juga belum mengomunikasikan rencana kebutuhan komponen mobil listrik yang akan mereka produksi nantinya.
“Kami butuh kepastian anggota Pikko dilibatkan oleh Kemenperin untuk komponen. Karena kalo kebutuhan dari APM nya berubah kan kita harus investasi, nah investasi ini bagaimana kami bisa mendapat insentif,” katanya.
Ia menambahkan, industri kecil pembuat komponen otomotif di Indonesia sangat bergantung dengan bahan baku dari luar negeri. Menurutnya sekitar 80 persen bahan baku komponen masih diimpor karena tidak tersedia di dalam negeri.
“Kalau impor, tentu tidak dalam jumlah kecil artinya harus dalam kuantitas yang banyak. Nah spek yang dikeluarkan APM untuk komponennya tersebut tidak dijual di lokal. Jadi kami juga perlu bantuan dari pemerintah,” keluhnya.
Wan Fauzi mencontohkan, insentif yang dibutuhkan salah satunya dalam bentuk keringanan bunga kredit perbankan.
Menurutnya, pelaku industri komponen otomotif di Malaysia bisa memperoleh bunga bank hanya 5-6 persen saja untuk modal membeli bahan baku.
Sementara perbankan nasional masih memungut bunga 12 persen yang semakin memberatkan kegiatan produksi komponen dalam negeri.
“Kami bisa dapat margin 3-5 persen dari kegiatan bisnis ini saja sudah untung. Kalau nantinya malah tidak dilibatkan dalam mobil listrik ini, saya khawatir anggota PIKKO akan banyak yang beralih membuat komponen industri lain,” keluhnya.
Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi, dan Alat Pertahanan Kementerian Perindustrian, Putu Juli Ardika memastikan keputusan pemerintah untuk memulai produksi mobil listrik di dalam negeri tidak akan mematikan industri pendukung otomotif.
Menurutnya proyek mobil listrik justru menjadi peluang yang seharusnya bisa dimanfaatkan oleh PIKKO dan seluruh perusahaan kecil yang bernaung dibawahnya.
Putu mencatat, untuk mobil plug in hybrid yang pertama kali akan digenjot produksinya di Indonesia justru membutuhkan komponen yang lebih banyak dibanding mobil konvensional
“Kalau untuk full mobil listrik memang komponennya hanya sekitar 20 ribuan per satu unit. Sementara dalam peta jalan mobil listrik kan pemerintah menerapkannya bertahap, mulai dari plug in hybrid dulu butuh 37 ribu komponen. Jadi kekhawatiran reduksi kebutuhan komponen belum ada,” kata Putu.[Go/Res]