GARDUOTO – Sebuah laporan mengenai kondisi terkini pasar mobil listrik di Indonesia dirilis perusahaan manajemen konsultansi global, Arthur D. Little (ADL). Dalam studinya, ADL telah mengidentifikasi lima tantangan mendasar terhadap peralihan Indonesia menuju mobilitas kendaraan listrik.
Pertama, ialah ketergantungan yang kuat pada produksi Original Equipment Manufacturer (OEM) otomotif yang terbatas. Kedua, terbatasnya pengembangan infrastruktur pengisian daya, ketiga, pemrosesan nikel yang kurang berkembang.
Keempat, Baterai Lithium Ferro Phosphate sebagai ancaman bagi keberadaan Nickel Manganese Cobalt, dan yang terakhir adalah keseimbangan antara keterkaitan regional dan prioritas nasional.
Berdasarkan publikasi ADL terbaru ‘Global Electromobility Readiness Index (GEMRIX) edisi 2022 – 2023’, Indonesia termasuk dalam pasar EV yang sedang berkembang. Mendapat skor 43 dari 100 untuk kesiapan Battery Electric Vehicle (BEV). Hal ini sejalan dengan negara-negara seperti Uni Emirat Arab dan Thailand.
“Dengan peralihan ke kendaraan listrik, Indonesia berharap dapat mengurangi ketergantungan pada impor minyak, serta akan berkontribusi pada ketahanan energi dan membantu membatasi pengeluaran devisa.”
“Hal ini adalah salah satu prioritas utama pemerintah, mengingat ketergantungannya pada impor minyak dan fluktuasi nilai tukar USD,” ujar Andreas Schlosser, Partner dan Global Head of Arthur D. Little’s Automotive Practice.
Di Indonesia, sampai 2030, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) telah menetapkan target produksi sebanyak 600 ribu kendaraan listrik roda empat, dan 2,45 juta kendaraan listrik roda dua.
Berdasarkan hasil analisis ADL, Indonesia membutuhkan produksi minimal 340.000 kendaraan listrik (56% dari target semula 600.000) untuk memenuhi kapasitas 15 GWh dari permintaan domestik.
Untuk mendukung target tersebut, pemerintah Indonesia telah menawarkan berbagai insentif, seperti pengurangan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), pembebasan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB).
Lalu ada insentif bea masuk atas importasi Kendaraan Bermotor Listrik (KBL) berbasis baterai, insentif pajak terkait Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), dan keringanan biaya pengisian listrik di Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU).
Namun, terlepas dari pendekatan komprehensif dan berbagai langkah yang ditawarkan oleh pemerintah melalui dorongan regulasi, tingkat adopsi kendaraan listrik di Tanah Air masih rendah karena berbagai tantangan yang tidak bisa dibilang mudah untuk diatasi. (GO/Gie)