GARDUOTO – Masalah proses sertifikasi dan keabsahan LSPro Pelumas terus berlanjut. Perhimpunan Distributor Importir dan Produsen Pelumas Indonesia (PERDIPPI) mempertanyakan legalitas Standar Nasional Indonesia (SNI) yang diterbitkan oleh Lembaga Sertifikasi Produk (LSPro).
Pertanyaan ini muncul pasalnya ada beberapa ketidak-sesuaian. Kejanggalan, ketidaksinkronan dan dualisme antara pelaksanaan sertifikasi tersebut dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan sektor Minyak dan Gas Bumi beserta turunannya yang berlaku.
Pertama, uji yang dilakukan oleh LSPro untuk menerbitkan izin menggunakan Tanda SNI Pelumas hanya bersifat parsial yakni uji fisika kimia tanpa uji unjuk kerja. Padahal, SNI Pelumas yang telah diterbitkan oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN) melalui proses panjang.
Yaitu dirumuskan melalui proses 2 tahunan oleh Sub Komite Teknis, lalu disetujui melalui Forum Konsensus Nasional yang lalu ditempatkan di website BSN untuk jajak pendapat umum dan baru sesudah semua pihak menyetujui diterbitkan oleh BSN sebagai SNI resmi.
Rumusan SNI secara tegas menetapkan untuk diberi SNI. Sebuah produk PERLU pengujian lengkap terhadap seluruh ketentuan SNI bersangkutan dalam hal pelumas tidak cukup dengan uji fisika kimia saja, tetapi juga harus menjalani uji unjuk kerja.
“Persyaratan yang ditetapkan untuk SNI Pelumas, yakni uji fisika kimia itu sudah diberlakukan dalam NPT Wajib. Jadi yang kami pertanyakan, hanya dengan uji fisika kimia seperti yang dilakukan dalam NPT Wajib langsung dapat diberikan hak untuk mencantumkan Tanda SNI. Legalitas pemberlakuan SNI inilah kami pertanyakan,” ungkap Ketua Dewan Penasehat PERDIPPI, Paul Toar.
Kedua, sesuai dengan ketentuan dari BSN bahwa lembaga yang melakukan sertifikasi diharuskan sudah terakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN). Apakah LSPro sudah terakreditasi oleh KAN?
Menurut Paul, akreditasi LSPro juga tidak boleh dilakukan oleh lembaga diluar itu. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional.
Peraturan ini menyatakan bahwa Lembaga Sertifikasi Produk yang memberikan sertifikasi produk penggunaan tanda SNI harus diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN). Dan untuk pengoperasian penggunaan tanda SNI tersebut juga didasarkan pada nota kesepakatan antara Badan Standarisasi Nasional (BSN) dengan KAN,” terang Paul.
“Dan wewenangnya adalah lembaga sertifikasi pelumas tersebut harus berada di bawah menteri teknis yang terkait dengan sektor minyak dan gas bumi, beserta turunannya,” jelas Paul.
Ketiga, tentang kewajiban uji fisika kimia. Persyaratan yang ditetapkan oleh BSN untuk SNI itu, selama ini telah diberlakukan dalam Nomor Pelumas Terdaftar (NPT) Wajib.
Sementara, dalam rapat koordinasi antara Kantor Menteri Koordinator Perekonomian dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Perindustrian, BSN, KAN, dan Lembaga Minyak dan Gas Bumi pada tanggal 5 April 2019 hasilnya menegaskan, selama masih belum ada uji unjuk kerja dari produk pelumas, maka yang diberlakukan adalah NPT.
Jadi, yang perlu dipertanyakan hanya dengan ujifisika kimia seperti yang dilakukan dalam NPT Wajib, langsung dapat diterbitkan izin menggunakan Tanda SNI. Legalitasnya kita pertanyakan?
Spesifikasi fisika kimia SNI sudah ada di NPT
Kementerian ESDM melalui Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 053 Tahun 2006 tentang Wajib Daftar Pelumas yang Dipasarkan di Dalam Negeri, dan Keputusan Menteri ESDM Nomor 2808 K/20/MEM/2006 juga telah menetapkan standar dan mutu (spesifikasi) pelumas yang dipasarkan di dalam negeri. Regulasi ini sekaligus mencantumkan ketentuan persyaratan fisika/kimia Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk pelumas, sebagai bagian integral persyaratan NPT Wajib Pelumas.
Artinya semua pelumas yang akan dipasarkan di dalam negeri aspek kimia/fisikanya diuji secara lengkap oleh Lembaga Minyak dan Gas Bumi (Lemigas) dengan 14 parameter. Pengujian tersebut dilakukan sebelum diterbitkannya NPT.
Lebih dari itu, dalam Permen ESDM Nomor 053 Tahun 2006 ini juga menegaskan bahwa salah satu acuan parameter standar mutu SNI di samping API, JASO, dan rekomendasi pabrikan, adalah NPT Wajib. Artinya, keberadaan NPT tersebut bukan hanya sudah mewakili standar mutu yang ditetapkan dan diakui, tetapi juga sah secara hukum.
“Terlebih, fakta yang ada menunjukan, dengan regulasi NPT, selama ini peredaran pelumas dibengkel, toko-toko, dan saluran distribusi lainnya telah berjalan baik dan lancar. Ini juga diawasi Polri, SAE Indonesia, Lembaga Migas, Kejaksaan, dan lain-lain. Dan satu hal lagi, selama ini pula tidak ada berita atau keluhan kerusakan mesin akibat pelumas yang kualitasnya buruk, satu bukti nyata bahwa regulasi NPT Wajib telah sangat berhasil untuk melindungi konsumen pelumas dan kegiatan ekonomi nasional,” papar Paul.
Lanjut Paul, biaya NPT hanya berkisar 5-10 juta per 5 tahun dan sudah lengkap dengan uji fisika kimia 14 parameter. Sedangkan utk SNI bisa mencapai biaya lebih dari 10 kali lipatnya hanya untuk 4 tahun. Dan ini menjadi sangat tidak visible utk pelumas mesin kerja.[Go/Res]