GARDUOTO – Polemik masalah aturan wajib Standar Nasional Indonesia (SNI) masih saja berlanjut. Pasalnya ada beberapa produsen oli yang tidak setuju. Ini didasari oleh beberapa hal.
Salah satu yang menolak adalah Top1, PT Topindo Atlas Asia Top1. Seperti diungkapkan alasan menolak karena dilandasi oleh biaya yang mahal untuk sertifikasi. Padahal aturan ini sudah diterbitkan Kementerian Perindustrian (Kemenperin).
Mahalnya biaya sertifikat SNI per satu produk bisa mencapai per Stock Keeping Unit (SKU) sebesar Rp200 juta-an. Sementara itu Top1 punya 30 jenis SKU. Berarti biayanya kalau dihitung bisa sampai Rp 6 miliar.
Melalui perhimpunan Distributor, Importir, dan Produsen Pelumas Indonesia (Perdippi) yang membawahi 125 merek pelumas impor, di antaranya Top1, BM1, Mobil1, Aral, United Oil, Liger, STP, Total Oil, Chevron, sempat menjabarkan biaya proses sertifikasi SNI.
Ada beberapa biaya yang harus dikeluarkan produsen untuk sertifikat senilai Rp10 juta, biaya audit pabrik per tahun Rp35 juta – Rp100 juta. Biaya sertifikat lain Rp5 juta, biaya tes serta evaluasi Rp20 juta. Dan biaya akomodasi per orang untuk audit pabrik Rp10 juta- Rp100 juta.
Bisa dibayangkan total biaya yang harus dikeluarkan. Masing-masing produsen bisa mengeluarkan biaya Rp80 juta – Rp235 juta per tahun per SKU. Ini belum termasuk engine performance test, surveillance test, re-test, re-audit, serta pajak.
“Bisa dibayangin kan kalau kali Rp200 juta. Total biaya tersebut kami akan membebankan kepada siapa? Jelas tidak masuk untuk biaya produksi,” kata Brand Activation and Public Relations Manager Topindo Atlas Asia Top1 Akmeilani di Jakarta, Senin (26/2).
Akmeilani menjelaskan bahwa pihaknya dengan produsen pelumas impor lain anggota Perdippi menentang regulasi wajib SNI. Aturan yang dikeluarkan melalui Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia Pelumas Secara Wajib.
Regulasi itu telah diterbitkan pada 10 September 2018 dan bakal berlaku pada 10 September 2019. Untuk itu Perdippi melakukan penolakan melalui jalur hukum dengan mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung (MA).
Dimana Akmeilani menjelaskan sebelum diwajibkan SNI. Regulasi yang digunakan untuk standar kualitas pelumas di dalam negeri adalah Nomor Pelumas Terdaftar (NPT) pada Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi 019K/34/M.PE/1998.
“Dibanding aturan SNI, biaya pada regulasi NPT disebut lebih masuk akal. Biaya NPT dikatakan hanya Rp5 juta per SKU dengan masa berlaku hingga empat tahun,” tegasnya.
Keberatan lainnya adalah terkait lokasi pabrik Top1 yang berada di Amerika Serikat. Dalam aturan wajib SNI, pabrik itu harus diaudit oleh pemerintah sebagai bagian proses sertifikasi SNI.
“Nah masalahnya kita keberatan karena biaya audit ditanggung produsen. Lalu bagaimana bagi produsen yang punya lebih dari satu pabrik diluar negeri. Berapa biaya yang harus dikeluarkan,” tambah Akmeilani.[Go/Res]